Wakaf: harta jadi abadi, mengalirkan manfaat tak henti. Salurkan wakaf anda ke Wakaf Al-Azhar, melalui Bank CIMB NIAGA. No. Rek. 517 01 0000 8009, Bank Mandiri Syariah. No. Rek. 112 004 9999, Bank Mandiri. No. Rek. 126 000 711 1155, Bank BCA. No. Rek. 070 301 4663. ::  Kirimkan Informasi, Kritik dan Saran ke info@wakafalazhar.com
Kamis, 03 Februari 2011

Perencanaan dan Pengelolaan Wakaf Produktif


Share/Save/Bookmark

Oleh: AZHARI AKMAL TARIGAN
Selama ini wacana dan gerakan ekonomi Islam tertumpu pada dua teori besar yaitu, larangan riba dan perintah membayar zakat termasuklah didalamnya infaq dan sadaqah. Hal ini bisa dimaklumi karena kedua persoalan ini begitu eksplisit disebut oleh al-Qur’an dan hadis. Implementasi dari wacana yang disebut pertama terlihat dari muncul dan berkembangnya perbankan Syari`ah seperti Bank Mu`amalat Indonesia (BMI), Bank Syari`ah Mandiri (BSM), BNI Syari`ah –untuk menyebut beberapa contoh- sebagai bank non ribawi. Berbagai penelitian awal menunjukkan, bahwa bank Syari`ah dipandang mampu menjadi alternative jika tidak dapat disebut sebagai satu-satunya pilihan. Sedangkan implementasi doktrin kedua, terlihat dari gerakan sadar zakat (GSZ) yang ditindaklanjuti dengan dukungan UU No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat. Melalui undang-undang tersebut, kelembagaan dan manajemen zakat kembali di tata dengan memberi peluang pada masyarakat untuk membentuk badan amil tersendiri yang disebut dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Kendati demikian, berbagai macam cara sosialisasi zakat yang telah dilakukan, namun tetap saja zakat dipandang belum berhasil memberikan efek ekonomi yang signifikan. Zakat belum mampu menjadi panacea (obat pengentasan kemiskinan) yang diderita ummat. Kita masih menunggu hasil yang lebih besar, kendati secara karitatif, zakat mampu menolong fakir miskin namun belum berhasil memberdayakannya sehingga mereka dapat mandiri secara ekonomi.

Selain kedua hal di atas, institusi ekonomi Islam yang saat ini sedang mendapat perhatian serius adalah wakaf. Wakaf merupakan salah satu ibadah yang bercorak sosial-ekonomi yang cukup penting dalam Islam di samping zakat, infaq dan sadaqah (ZIS). Cukup banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Rasul yang menjelaskan signifikansi fungsi wakaf baik dalam konteks hablum min Allah terlebih lagi dalam konteks hablum min al-nas. Sayangnya, wakaf umat Islam saat ini yang kebanyakannya dalam bentuk tanah dan bangunan belum sepenuhnya produktif. Tanah-tanah wakaf hanya digunakan untuk kuburan, madrasah, dan tempat-tempat ibadah. Akibatnya wakaf belum dapat memberi nilai tambah ekonomis. Alih-alih untuk pemberdayaan, untuk pemeliharaan tanah wakaf itu sendiri, para nazir wakaf kesulitan. Untuk itulah beberapa tahun belakangan ini mulai digalakkan kembali apa yang disebut dengan wakaf produktif.

Penyebutan wakaf produktif mengandung arti suatu upaya transformasi dari pengelolaan wakaf yang alami menjadi pengelolaan wakaf yang professional untuk meningkatkan atau menambah manfaat wakaf. Dengan kata lain wakaf produktif adalah proses pengelolaan benda wakaf untuk menghasilkan barang atau jasa yang maksimum dengan modal yang minimum. Dalam bukunya Wakaf Produktif, Jaih Mubarak, jika yang dimaksudkan dari istilah wakaf produktif adalah meningkatkan nilai tambah, maka istilah yang paling tepat adalah wakaf operatif. Kata operatif dalam ilmu manajemen mengandung arti aktifitas yang mentransformasikan input menjadi output yang bermanfaat berupa barang dan jasa. Sedangkan kata produktif hanya mentransformasikan input menjadi output yang bermanfaat berupa barang saja. (Jaih Mubarak: 2008:16)

Terlepas apapun namanya, wakaf produktif ataupun wakaf operatif, intinya adalah bagaimana kita (khususnya para nazir) mengelola harta (tanah) wakaf sehingga mampu memberi nilai tambah terhadap manfaat yang dihasilkannya. Sampai di sini, kita perlu memiliki nazir-nazir wakaf yang memiliki mental entrepreneurship. Jadi tidak sebatas mental da’i seoarang nazhir saja. .

Untuk menjadikan harta wakaf, khususnya tanah wakaf maka ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama, Nazhir wakaf harus memiliki data yang lengkap tentang potensi tanah wakaf yang dikelolanya. Hal ini penting karena dalam rangka memproduktifkan tanah wakaf penting diperhatikan lokasi tanah wakaf itu sendiri. Perlakukan dan keputusan bisnis yang akan diambil tentu berbeda antara tanah pedesaan, tanah perkotaan dengan tanah tepi pantai. Dengan kata lain, lokasi tanah akan menentukan jenis usaha yang akan dikembangkan.

Sekedar untuk memberikan gambaran kepada kita jenis usaha yang sangat bergantung Untuk tanah persawahan, usaha yang menarik dikembangkan adalah pertanian dan tambak ikan atau udang. Untuk tanah perkebunan, usaha yang dapat dikembangkan adalah perkebunan tanaman keras dan home industri. Tanah yang berbentuk padang rumput atau perladangan, jenis usaha yang ditumbuhkembangkan misalnya tanaman palawija dan real estate. Bagi tanah rawa, usaha yang dapat dilakukan adalah perikanan dan tanaman sayur-sayuran. Sedangkan tanah perbukitan usaha yang cocok dilakukan adalah tempat parawisata, tempat pelatihan out bond dan penyulingan air.

Untuk daerah perkotaan misalnya, tanah-tanah wakaf dapat dipilah menjadi tanah yang berlokasi di pinggir jalan protocol. Untuk jenis tanah seperti ini usaha yang tepat dilakukan adalah menyiapkan perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, apartemen, hotel, penginapan dan gedung pertemuan. Bagi tanah yang berlokasi di pinggir jalan raya usaha-usaha yang dapat dikembangkan adalah membuat rumah sakit, rumah makan, apotik, pom bensin, sarana pendidikan. Sedangkan tanah yang berada di dekat perumahan usaha-usaha bisnis yang dilakukan adalah membuat klinik, outlet, warung, usaha catering dan wartel atau warnet.

Kedua, setelah memperhatikan lokasi tanah dan jenis usaha yang tepat untuk dikembangkan, langkah selanjutnya adalah mempersiapkan perencanaan bisnisnya dalam bentuk proposal bisnis. Di dalam proposal itulah nazhir menjelaskan analisis bisnisnya, yang memuat prospek bisnis, peluang dan tantangan yang ada dan cara mengatasinya. Di dalam proposal itu juga dijelaskan cashflow uang masuk dan keluar serta keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh. Tidak kalah pentingnya di dalamnya juga harus dijelaskan pemanfaatan keuntungan tersebut. misalnya, untuk bea siswa, modal usaha, dan kebajikan-kebajikan lainnya. Dengan kata lain, di dalam proposal bisnis harus dapat “dipastikan” bahwa bisnis yang akan dijalankan benar-benar menguntungkan dan bermanfaat bagi umat.

Ketiga, langkah selanjutnya menyiapkan modal. Dalam berbagai kesempatan sosialisasi wakaf produktif, masalah yang sering dipertanyakan peserta adalah berkaitan dengan modal. Modal ini pulalah yang kerap dijadikan alasan mengapa tanah wakaf sulit untuk diproduktifkan. Sesungguhnya modal pengembangan wakaf poduktif dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, mencari investor yang bersedia membiayai proyek usaha yang ingin dijalankan. Skim yang dipilih dapat saja dalam bentuk mudharabah (sahib al-mal dengan mudharib) ataupun skim musyarakah (kerjasama para pihak). Kedua, melakukan komunikasi dan interaksi bisnis dengan lembaga perbankan syari’ah. Skim yang dipakai dapat saja musyarakah ataupun mudharabah. Yang menjadi persoalan di sini biasanya adalah ketika lembaga perbankan meminta jaminan. Tentu saja perbankan tidak mau jika yang dijadikan jaminan adalah harta wakaf atau tanah wakaf. sampai di sini, agaknya satu-satunya alasan perbankan syari’ah bersedia bekerja sama jika jenis usaha yang dikembangkan benar-benar menjanjikan keuntungan. Ketiga, modal juga dapat diperoleh melalui wakaf uang. Hanya saja untuk jenis yang ketiga ini, membutuhkan waktu yang panjang. Sebabnya adalah, jika kita ingin memanfaatkan bagi hasil dari wakaf uang, maka jumlah uang yang diwakafkan itu sangat besar sehingga bagi hasil yang diterima juga akan besar. Uang wakaf itu sendiri tidak dapat digunakan sebagai alat beli (tukar). Jadi yang dimanfaatkan adalah bagi hasil dari wakaf uang itu sendiri.

Keempat, pelaksanaan wakaf produktif itu sendiri. Sebaik apapun gagasan tentang pengembangan harta wakaf, jika tidak diikuti dengan keinginan kuat untuk mewujudkannya, semuanya menjadi sia-sia. Sosialisasi wakaf produktif yang selama ini sering dilakukan oleh kementerian agama tidak membawa hasil karena para peserta tidak menterjemahkan apa yang diperolehnya di dalam sosialisasi tersebut dalam bentuk kerja-kerja nyata. Akhirnya sosialisasi tinggal sosialisasi. Oleh sebab itu, keinginan yang kuat untuk memproduktifkan harta wakaf harus menjadi kesadaran batin setiap nazhir.

Sejatinya, wakaf produktif tidak lagi sekedar menjadi wacana dikalangan masyarakat muslim. Wakaf produktif harus menjadi bagian dari program ummat ini dalam rangka memberdayakan sesamanya. Para nazhir harus menyadari tugasnya bukan sekedar menjaga harta wakaf tetapi lebih dari itu adalah memberdayakannya sehingga memiliki nilai tambah yang tak terhingga. Semoga…

Penulis adalah Pengurus HIMNI Sumatera Utara.


Related Articles



 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design